The Singing Sagoo  

Celoteh Herlina

Sagu-sagu menari, tarian perpisahan....

Aku teringat papa ketika dengan lugasnya berkata, siapa bilang orang ambon makanan pokoknya sagu, sejak kecil papa makannya nasi, sagu hanya sebagai selingan atau makanan ringan.

Lalu di rimba-rimba Pulau Seram Pohon Sagu, Kakao, Pala, Cengkeh trying to survive. Yang menang yang paling tinggi nilai jualnya. Pala, cengkeh, kakao, berapa rotasi??? dan mereka pergi menyisakan tanah tua, yang lalu dipaksa lagi menumbuhkan minyak-minyak hijau.

Di atas kertas, data-data itu. Padi, kakao, pala, cengkeh. 1, 2, 3 hektar mereka adalah padi. Luar biasa, angka yang cukup langka kalau kita di Pulau Jawa. Lalu mereka makmur, pangan tercukupi, pendidikan layak, kehidupan sejahtera, sayang sekali itu semua tidak terjadi. Padi yang 3 ha itu, menggunakan sistem tabela. Ongkos produksi menjadi lebih besar, semakin merugi ketika pemerintah mengucurkan raskin. Harga gabah turun, petani menangis lagi, apa artinya 2-3 ha itu.

Di atas kertas, sudah tak ada lagi sagu. Pohon besar itu, yang begitu melekat dengan nama orang-orang Maluku, mungkin beberapa puluh tahun lagi akan tinggal sejarah. Sagu tumang, sagu lempeng, sagu gula, sagu kasbi, bagea, halua, semua makanan maluku that so much integrated with sagu, mulai menghilang. Food sustainability in molucas family especially in the village, no longer exist along with the goodbye step of sagu. One of my friend said that she had that time, where her grand ma has a special room for sagu in their house’s second floor, and that’s so much worthy for their food sustainable. Pohon sagu akan tumbuh selama puluhan tahun sebelum akhirnya ditebang dan diambil seluruh bagian isi batang pohonnya. Panen satu pohon sagu untuk satu keluarga dapat menjadi persediaan makanan untuk waktu yang cukup lama, tahunan mungkin. Sagu disimpan dalam, bentuk sagu tumang, yaitu pengemasan tradisional, sagu setelah dicuci dan berbentuk tepung kemudian dibungkus dalam anyaman daun sagu, dan dapat disimpan untuk jangka waktu yang lama.

And those research like the singing money, like tree of prosperty, with notes ofcourse, if you are not the object of research. It’s wet damned thing, unusefull tools as the government always do. It’s so amazing system, money comes easily when they wants to know what happened on the reality, but once they tryin to overcome the problem, money like hope for the rain in the sahara. So what it’s use to. Those research paper, reports, document, etc. just to fill the board of modern artistic building called government office, or just as the vain efforts so the officer has something to do as excuse to have their money, legally. No wonder many people are struggle to be in that chair, government officer. (me too, it’s so tempted)

In the middle of the singing sagoo. I heard another cries. A nobel institution, education institution. Dimana ikan-ikan besar memakan ikan kecil. Kaki-kaki menginjak kepala-kepala, dan seterusnya, berganti-ganti, saling menekan, kepuasan hanya barang langka berdebu yang ada di musium sepi tak berpengunjung. Lalu pendidikan jadi seperti penjajah, yang selalu meminta upeti tak masuk akal. Dan untuk sebuah status (yang gak penting gitu loh..) semua mulut-mulut bungkam, tangan-tangan terikat, meski hati panas, air mata meleleh, kepala bedenyut-denyut tak karuan, tapi upeti harus tetap terbayarkan, setan-setan semakin menari, dan ketundukan menjadi budaya manis yang semakin buncit. I hate them.., berjas putih seperti malaikat, tapi hatinya hitam menulari orang-orang, manusiakah mereka. Setan, iblis, anak-anak adam tak perlu lagi kalian goda, kami sudah lebih canggih, segala macam dosa selalu kami up date, varian-varian baru selalu hadir, tak perlu waktu lama, kami berlomba-lomba menjadi yang paling mutakhir. Bahkan untuk sebuah tempat suci dimana cahaya keimanan memulai langkahnya. Di tempat itu pulalah akan kami mulai memadamkannya. Pada bangku-bangku, papan tulis, segala macam diktat, huruf-huruf memudar menyesali, mengapa pengetahuan malah menutup hati manusia.

Di tengah lirih pendengaranku menahan semua marah yang melompat-lompat di antara cerita temanku, tentang lembaga setan itu. Sepasang kaki mungil yang cantik, melayang di tengah dingin udara. Duh ibu…., terhadap angin malam kaubiarkan melukainya, apakah juga tak akan kau jaga dia dari kejamnya dunia. Semoga hidupnya bahagia, menghargai budayanya dan terhindar dari segala bentuk penjajahan.

Sagu-sagu masih menari, dan aku pun akan memulakan langkahku, semoga aku bisa memberimu arti.