to My Vishu  

Celoteh Herlina

jab mein upar akash men taaren aur chand ko dekhti hun
mein janti hun ki tum zinda hain
tumhara hal chal, sab mujhe malum hai
jaise jhon lennon ne apna geet men likha hain ki “hum sab ekh hi gagan ke niche rahten hai”
yani agar tum upar dekhenge, to tum wahi jiz dekoge jo hum yaha par dekhti hun.

yaar, kabhi-kabhi mujhe lagti ki mein akheli hun lekin jaise ki tum hamare dost hain,
to mein janti ki tum hamare sath ho.
na patar, na sms, na fone, na chat, ye sab kuch matlab ke nahin hain
tum ne kaha hain, waise bhi mujhe lagta hain

jaise hum har din surya ki prakash dekhte hon
jaise tare badal ke piche din men lukh jate hain
wiase hi tum hain
hum tumhe dekh to nahi sakti lekin mujhe lagti hain ki tum hamare sath ho

jaisa ek pita, tum mujhe raksha karta hain
jaisa ek bhai, tum hamare anubhav ko parwah karta hain
jaisa ek acha dost, tum hamare saath apna anubhav batta hain
dukh men aur sukh men, tum meri jiwan men hamesha rahti hun
aab tum kaon hon

mein ne shabdkosh par dhundha, internet par surf kiya
ye sab tumhare bare mein bata nahi sakte
kyonki han, tum vishu hon, humare vishu

jiwan ka dost
jaise jungle men ekh geet ki tarha jho dur se hum sun sakte hein
math puchna yeh kaise ho sakta hain lekin yeh geet meri dil ko samaj liya
tum dhut to hain mujhse lekin aisa lagta hain ki tum nazdik hon

tum kambal ki tarhan hai jo mujhe tufan ki tarha dino men rakhsa karte hain
tum mujhse dhur to hain lekin tum hamare sab asun ko ponch sakte hain
tum meri dukh ko hathakar mujhe muskurana sikaya hain is mein ek sundarta hain

tumne bahut kuch kiya hain
Aab mujhe sharam ati hain
hum kaise tumhe dhanyavad karun
aaj tak mein ne kuch bhi nahi kiya

hum tumhara janam din ek maina baad tab yaad kiya
tumhare shaadi ke din men
meine tumhe congratulate nahi kiya na ek present bi dhiya
humne kabhi nahi puncha ki tumhara pariwar ke hal chal sab kaise hain
ye sab chiz mujhe karna tha lekin humne nahi kiya

yaar, mujhe maaf ki jiye na
tumhara dosti itna nirmal hain
mein yeh asha rakti hun ki ek din hum ek aisa chiz kare jo ki tum gabhrajaega
bahut bahut dhanyavad
tumhare liya, meri vishu.

(special thanks to Saula, for the translation, bahut-bahut shukriya)

 

Celoteh Herlina

Yang satu ini agak dramatis, (seakan) mengulik sisi kemanusiaan dari keteguhan memegang teguh sebuah prinsip, (apapun itu, bahkan) dari orang yang dicap pemberontak.

tulisan ini aku copy dari Milis Perempuan.



CERPEN:SURAT DARI AMBONMax Arifin (alm)

- The hour of departure has arrived

and we go our ways, I to die and you to live.

Which is better onlythe god knows.

Plato, Apology



Rentang waktu begitu panjang memisahkan kita dan kita tidak tahu apakah ini perhentian terakhir itu. Pada saat-saat seperti ini sebuah kata yang kau ucapkan dengan lirih empat puluh sembilan tahun yang lalu terus juga terikat ketat padaku. Seolah-olah kata itu menjadi semacam azimat dan memperkuat tekadku untuk bertahan: nasib. Atau takdir. Seperti ucapan Fernando Pessoa yang dikutip oleh Christiana Peri Rossi dalam novelnya The Ship of Fools yang kau kirimkan padaku, “kehidupan ini laksana sebuah pelayaran percobaan yang kadang-kadang bertentangan dengan kemauan kita”. Memang adalah suatu penemuan yang pahit bila dikatakan Tuhan itu tak ada. Karena paham ini tentu akan menghancurkan konsep tentang nasib. Menolak nasib merupakan suatu sikap yang sombong dan bila kita menyatakan bahwa kita merupakan suatu sikap yang sombong dan bila kita menyatakan bahwa kita merupakan satu-satunya yang membentuk nasib kita tentang eksistensi kita maka itu adalah merupakan kegilaan. Bila kita menolak nasib, maka hidup ini cumalah serangkaian kesempatan-kesempatan yang hilang dan gagal . Aku memang banyak merenung sejak aku tertangkap. Dunia ini seperti runtuh sudah, tak tahu apa masih ada tempat berpijak. Aku beringsut seperti keong yang malas. Waktu alamiah itu tak ada lagi, malah telah berubah menjadi batu. Aku seperti berada di tengah padang di bawah langit kelabu dan awan-awan seperti pohon liliak. Aku mendengar dari temanmu, seorang wartawan koran di Jakarta, bahwa kau hidup berpindah-pindah dari kota yang satu ke kota yang lain. Aku mencium dan merasakan kegelisahanmu. Seperti kegelisahan di sebuah rumah makan di kota Yogya pada malam itu, walau kau duduk menatap padaku tanpa kata-kata. Setelah aku membaptismu dan menggantikan nama pemberian ibumu dengan nama pemberianku. Lalu kita jalan-jalan, mengulur-ulur waktu agar malam itu tidak cepat berlalu. Kita berhenti di depan gereja di samping gedung negara dan melihat jam kota yang menunjukkan pukul dua pagi. Pagi itu aku harus berangkat ke kampung halamanku di Ambon sebagai anggota palang merah, bergabung dengan pemuda-pemuda RMS lainnya sebagai seorang perawat. Ketika kita mengarahkan pandangan ke selatan tampak Malioboro yang lengang. Aku tak dapat mengatakannya tetapi lamat-lamat terdengar puisi Chairil Anwar yang berjudul Derai-Derai Cemara, puisi yang sering kau kutip di Pakem.Aku sudah banyak melihat kematian dan mencium bau darah yang amis. Belasan pemuda remaja tiap hari berjatuhan di sebelahku diterjang peluru. Kami betul-betul dihujani peluru. Di kegelapan malam kami mengendap-endap melewati jalan Rijali, terus ke jalan Monginsidi dalam perjalanan ke Liang, sebuah desa kaum Muslimin, 34 km dari kota Ambon. Sore itu di Liang aku menatap matahari terakhir yang akan tenggelam di tanah kelahiranku. Pukul sembilan malam kami bersiap-siap menaiki tongkang menuju ke Tamilau di pulau Seram. Tiba-tiba dari kegelapan malam ratusan tentara mengepung kami. Lima mata bayonet terarah padaku. Lututku melemah dan aku duduk terkapar di pasir. Puluhan temanku gugur di sana. Anak-anak muda yang polos dan lugu dengan satu tekad ingin merdeka. Atau untuk apa? Betapa sulit menjadi seorang pahlawan. Betapa kejamnya dan tidak manusiawi dan benar-benar bodoh dan sia-sia. Tetapi aku bukannya ingin menjadi seorang pahlawan, sebuah figure, tetapi yang ingin kurebutadalah jiwa dan semangat kepahlawanan.Selama digiring ke markas TNI dan interogasi sampai ke siding pengadilan, pikiranku menjadi begitu tenang dan yang terbayang di depanku cuma dua buah lukisan: lukisan Goya yang berjudul The Shootings of May 3 dan lukisan Manet yang berjudul The Execution of Maximilian: pesakitan-pesakitan yang menghadapi regu tembak! Enam tahun aku mendekam di penjara bersama-sama dengan teman-temanku.“Aku ingin kau jadi penyair,” kataku pada malam itu di rumah makan di depan pasar Beringharjo. “Dan menyelesaikan studimu di Gajah Mada”. Kau diam saja. cuma pandanganmu memperlihatkan keheranan. Aku juga tidak tahu kenapa malam terakhir itu berjalan kaku dan pikiranku melayang ke sana-ke mari. Tiga bulan yang lalu kau pulang dari sanatorium Pakem; di sana aku ikut merawat kau. “seorang penyair seperti yang ditulis oleh Oriana Fallaci tentang kekasihnya Alekos Panagoulis yang dihukum mati oleh pemerintah diktatur Yunani dalam novelnya The Man. Bukan sekedar penyair yang cuma memanipulasi dan membuat teka-teki dengan kata-kata”. Kau diam saja dan mengaduk-aduk sisa-sisa makanan di depanmu. “Tapi ‘a rebel poet’, kata Fallaci, seorang penyair yang bebas dari kekangan, dari pola-pola, dari tabu-tabu, bahkan terbebas dari konsep-konsep gelap dan tidak gelap karena adanya keunikanmu sebagai seorang pahlawan kesepian, berpegang teguh pada mimpi-mimpi dan imajinasi yangkadang-kadang tidak masuk akal. Aku ingin memberi arti pada hidup ini. Kau pernah membisikkan ke telingaku : Love me for what I am. Tapi aku tidak. Aku tidak mencintai kau seperti apa adanya, tetapi aku mencintai kau seperti keinginanku. Besok bukanlah hari yang lain bila eksistensinya tidak berisi sifat-sifat yang manusiawi. Cintaku aneh? Mungkin, karena cintaku memiliki kebajikan yang menjengkelkan alam. Dalam pelukan-pelukan yang kita lakukan yang kadang-kadang liar dan manis, yang kucari bukanlah tubuhmu, tetapi jiwamu, pemikiran-pemikiran mu, perasaan-perasaanmu , mimpi-mimpimu dan puisi-puisimu yang akan dating”. Kau menunduk, menyembunyikan air matamu. Memang kita sepakat untuk memilih jalan yang tidak banyak dilalui orang, beribu hambatan tetapi kita tahu jalan ini yang telah kita pilih sesuai dengan kata hati dan kepedulian bagi perbaikan kehidupan manusia. Memang aku mencoba mengidealisasikan tragedi dalam kehidupan kita yang terdiri atas tiga unsur: cinta,kepedihan dan kematian. Aku ingat waktu pertama kali aku mengajak kau ke gereja di depan pasar Beringharjo itu. Untuk apa, kau bertanya. Untuk menambah pemahamanmu tentang agamaku. Ketika menyanyikan mazmur, kau ikut berdiri dan memandang padaku sebentar. Kau bilang khotbah sang pendeta itu sangat berkesan tetapi masih gelap bagimu. Tak apa Di langit-langit gereja Santo Petrus di Roma yang dibuat oleh Michelangelo. Dalam khotbahnya pendeta berkata, bahwa orang-orang Kristen----- lewat inkarnasi Kristus----telah mampu mengalami sejarah sebagai suatu “theopany yang positif”. Yesus telah mengkuduskan sejarah, memberikannya suatu nilai positif melalui inkarnasi itu, dengan demikian sejarah itu mendapat arti, tujuan dan arah. Jadi sudah sejak awal, orang-orang Kristen tidak pernah mengidentifikasi sejarah dalam cara-cara yang katastrofik.Dan untuk pemahamanku tentang agamamu, di suatu senja kau mengajak aku ke sebuah pengajian di pondok pesantren di pinggir kota Yogya. Ketika selesai, cuma satu yang kupahami, bahwa agamamu adalah agama perdamaian, karena kata-kata itulah yang selalu diulang-ulang. Kiai itu berkata, kita membutuhkan sikap keterbukaan untuk melihat sisi-sisi yang tidak ditemukan dalam kitab suci kita sendiri. Kaum Muslimin bias jadi memiliki Kristologi sendiri yang berbeda dengan pandangan Kristen. Ya, boleh jadi.Surat ini kutulis pada senja hari di rumahku di luar kota Ambon , di suatu sudut terpencil, di ujung Jalan Dr. Tamaela. Usiaku sudah senja; waktuku tidak banyak lagi. Yang membuat aku gembira adalah, bahwa pada saat seperti ini aku masih bias berkomunikasi dengan kau walau tidak sekerap yang kita inginkan. Aku masih ingat ketika berpisah pagi itu. Kita berciuman. Lama sekali. Aku melarang kau mengantar aku ke stasiun. Aku takut, aku tidak sanggup menghadapi suatu perpisahan.Kau bahagia dengan istri dan anak-anakmu? Aku terus membujang, hanya seorang keponakan menemani aku. Aku menepati janjiku. Yang merisaukan hatiku adalah situasi kota Ambon selama tiga tahun terakhir ini. Semua sendi-sendi hidup bermasyarakat hancur. Yang ada adalah kebencian yang begitu menyala di setiap mata orang. Pela Gadong yang kami bangga-banggakan, entah berada di mana. Kami sudah tidak “ baku baik” selama tiga tahun ini.Aku takut masing-masing kami mengartikan theophany--- -manifestasi aktual Tuhan----secara negative. Menjadi kemarahan Tuhan dan sebagai penyebab tingkah-laku hamba-hambanya, suatu paham yang menyebabkan orang-orang Yahudi mengalami “kejatuhan ke dalam sejarah”.Kita menjadi hamba ketegangan dan tidak memiliki daya tangkal dalam diri kita yang bersifat mekanis, tak mampu menjawab stimuli-stimuli yang berada di tempat jauh, momok-momok krisis itu. Kita tidak mampu menjelmakan kata-kata dan perbuatan ke salam dunia manusiawi sebagai suatu kelahiran yang kedua kalinya.Aku takut, atavisme yang disebut-sebut oleh Saul Bellow----pemenang Nobel itu---pada akhir bukunya To Yerusalem and Back memang terus mengikuti kita. Ia menulis: Di zaman purba di tembok-tembok kota yang ditaklukkan di Timur Tengah kadang-kadang digantung kulit-kulit orang-orang yang ditaklukkan. Kebiasaan itu sudah hilang. Tetapi keinginan untuk membunuh untuk tujuan-tujuan politik----atau pembenaran pembunuhan dengan tujuan-tujuan politik itu---adalah masih tetap seperti dulu.Aku sudah lelah. Mendekam di penjara selama sekian tahun menghadiahkan berbagai penyakit padaku. Bukan kematian yang menakutkan aku, tetapi “the coming of age”----datangnya usia tua. Karena aku sudah pernah melangkah dari kematian yang satu ke kematian yang lain.Terima kasih atas kiriman buku-buku itu. Semuanya menarik.Salam manis dan rinduku selalu.


MARIA THERESIA.

Ambon , April 2004

(dimuat jurnal kebudayaan banyumili edisi perdana, april 2007)
Dari milis Perempuan 7 Juli 2007.