waktu hujan bulan kemaren  

Celoteh Herlina

Dia datang bersama hujan pertama, tak ada yang istimewa.

Hanya pasrahku, dibalut dinginnya air dan angin yang mengantarkannya.

Beri kesempatan waktu mengukir alur. Seperti matahari yang setia berada di setiap pagi, menemani segala yang tumbuh dan mengucap selamat tinggal pada segala yang pergi.

Dan aku kehabisan kata untuk ini…, semua mengabur setelah sekian lama menutup mata.

Sekali lagi, beri kesempatan waktu mengukir alur.


Untaian kata itu dibuat awal musim hujan, beberapa bulan lalu, ketika dingin turun dengan begitu cantik. Sekarang aku mengerti tak di hujan juga kemarau, aku lebih mencintai diriku sendiri, terlalu mencintai diriku sendiri, hingga tak sisakan ruang untuk siapapun. Pernah aku membagi bahagia, bersama the living miracle, tapi kini dia sudah berlalu. Meninggalkan galau balau ku sendiri menatap limbung jalanan yang harus kutempuh. Aku justru merasa kuat ketika aku limbung, aku justru menemukan kemandirianku dalam kelemahanku yang membahana.


Hmm.., rasanya begitu nikmat, mencintai diri sendiri.


Segala hujan, segala kemarau, nyanyian-nyanyian cinta, rindu-rindu asmara, hanya

warna-warna yang sebentar lewat, bagiku semua tak boleh menetap tinggal. Aku benci menjadi setia, aku benci jika akhirnya hanya ada aku yang berdiri di simpang jalan itu sambil menangisi
seseorang, akulah yang akan pergi, akulah yang akan mengucapkan selamat tinggal, akulah yang

akan berlalu sambil ditangisi oleh seseorang, aku akan memunggunginya dan mengambil langkah jauh, agar tak kudengar tangisannya.


Hikss.., so far, i think it's me the one who had always has that cry



the pict from here

This entry was posted on 11:54 PM . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Subscribe to: Post Comments (Atom) .

0 comments